« Home | MENDESAK "GRAND DESIGN" KOTA BANDUNG » | KRISIS ENERGI DAN PERENCANAAN KOTA KOMPAK » | masih susah ya ngeblog teh ;-) » | Lupa Username » | arigatou » | Blog ini: Hadiah buat Abi » 

Tuesday, November 01, 2005 

MEMBANGUN KOTA HEMAT ENERGI - Bagian pertama

Oleh Bambang Setia Budi


Bersegeralah melakukan program penghematan! Lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali. Begitulah jika kita membaca data-data cadangan energi yang sering ditulis para peneliti/pakar energi, termasuk yang disampaikan presiden SBY belum lama ini bahwa minyak bumi Indonesia akan habis sekitar 18 tahun ke depan, gas 60 tahun, dan batubara 150 tahun ke depan (detik.com, 28 September 2005).

Jika tidak ada langkah-langkah nyata oleh pemerintah seperti diversifikasi dan penghematan energi dalam skala yang luas, bisa dibayangkan bagaimana kondisi masa depan penduduk negeri yang hidup dengan sedikit atau bahkan tanpa pasokan energi. Dua langkah ini mesti dilakukan secara sinergis dan berkelanjutan, jangan hanya semangat musiman atau sekadar menjadi reaksi spontanitas (kagetan) karena tidak menyiapkan upaya-upaya/program menghemat energi yang terencana dengan baik.

Di banyak negara maju, untuk upaya menghemat energi sudah lama berkembang dan diaplikasikan. Kota-kotanya yang disebut-sebut sebagai tempat paling banyak mengkonsumsi energi juga sudah dikelola dan dirancang oleh pemerintah kotanya dengan konsep kota yang menghemat energi. Apa dan bagaimana saja konsep-konsep kebijakan pembangunan, perencanaan dan pengelolaan kota yang diharapkan dapat menghemat energi tersebut akan dirangkum dalam rangkaian tulisan di bawah ini.

Sebenarnya konsep-konsep atau gagasan-gagasan di bawah ini bukanlah hal yang baru karena di berbagai kota di negara-negara maju sudah banyak dipraktekkan. Untuk kota-kota di negara berkembang, prakteknya memang terlihat jauh lebih sulit ketimbang menemukan konsep/gagasannya itu sendiri. Penyebab utamanya paling tidak adalah pertama, karena tidak/belum adanya kebijakan politik dan kesadaran yang kuat dari pemerintah kota/daerah untuk memprogram, merencanakan dan menerapkan kebijakan hemat energi bagi pengelolaan kota dan penduduknya, dan kedua masih rendahnya kesadaran masyarakat/penduduk kota terhadap penghematan energi.

Hemat penulis, sedikitnya ada tiga persoalan kota yang sangat penting untuk diperhatikan dalam membangun kota hemat energi yakni pertama perencanaan sistem transportasi dan manajemen lalu lintas (transport planning and traffic management), kedua, perencanaan dan perancangan tata ruang kota dan tata guna lahan (urban spaces and land-use planning and design), dan ketiga perencanaan dan perancangan tata lingkungan dan tata bangunan (lanscape and building planning and design). Ketiga pokok persoalan ini akan dikupas dalam tulisan-tulisan berturutan berikut ini. Masing-masing pokok persoalan akan diberikan langkah-langkah strategis untuk membangun dan merencanakan kota yang hemat energi tersebut.
A. Perencanaan Transportasi dan Manajemen Lalu lintas
(Transport Planning and Traffic Management)

Dalam upaya membangun kota hemat energi, beberapa langkah perencanaan transportasi dan manajemen lalu lintas yang bisa dipraktekkan adalah sebagai berikut:

1. Membangun dan menyediakan sarana dan prasarana transportasi publik/masal yang efisien dan representatif

Tak ayal lagi, konsumsi energi terbesar bagi kota-kota adalah dari sektor transportasi ini. Inilah sektor yang paling vital yang menandai denyut kehidupan sebuah kota. Sebuah kota bisa dianggap mati jika di dalamnya tidak ada dinamika pergerakan penduduk dari satu tempat ke tempat yang lain. Makin besar skala sebuah kota, dapat dipastikan makin banyak pula jumlah orang yang bergerak di dalam kota setiap waktunya. Oleh karenanya perencanaan dan pengelolaan sistem transportasi publik/masal yang baik, efisien dan representatif serta pengaturan/manajemen yang tepat akan menjadi faktor kunci bagi penghematan energi di kota.

Penyebab utama tidak hematnya sektor transportasi di berbagai kota di dunia hampir selalu dipastikan karena banyaknya kendaraan pribadi yang memenuhi jalan-jalan di kota. Dengan penentuan sistem dan penyediaan sarana transportasi masal dan efisien, diharapkan banyaknya pengguna mobil pribadi akan berkurang dan beralih kepada transportasi masal ini. Syaratnya, transportasi masal haruslah representatif, efisien, aman, dan nyaman.

Karena sifatnya masal dan efisien, harga semestinya juga bisa murah dan terjangkau oleh semua lapisan masyarakat sehingga juga dapat menekan anggaran transportasi bagi masyarakat luas. Selain itu peraturan daerah/kota bisa dibuat sedemikian hingga menggunakan transportasi masal menjadi lebih hemat dibanding dengan memakai kendaraan pribadi, sehingga ini semakin mendorong sebagian besar masyarakat beralih ke transportasi masal ini.

Melalui sistem transportasi publik/masal yang efisienlah sebuah kota (bahkan negara) bisa sangat menghemat energi, karena pergerakan penduduk dapat diangkut dalam jumlah yang besar pada waktu yang sama. Menengok kota-kota besar di negara maju seperti Jepang, andalan utama transportasi masalnya adalah kereta listrik (densha) atau kereta listrik bawah tanah/subway (cikatetsu) yang bisa mengangkut ribuan orang pada waktu bersamaan ketika jam sibuk. Selain praktis, aman dan nyaman, harga pun sangat terjangkau bagi masyarakat luas untuk ukuran masyarakat di Jepang, juga ketepatan waktunya dapat dijamin dalam hitungan menit.

Di kota-kota besar di Jepang, kita akan menemukan sistem kereta listrik yang sangat efisien yang menghubungkan sub urban dengan area pusat kota. Kereta-kereta itu pun hampir selalu dipenuhi ribuan penumpang. Selain itu, kereta-kereta listrik lokal dengan frekuensi yang sangat tinggi juga siap melayani penumpang di dalam area metropolitan. Sebagai misal pada Yamanote Line, salah satu jalur loop Kota Tokyo, kereta-keretanya berlari setiap tiga menit sekali di siang hari.

Sebagai gambaran dominannya penggunaan transportasi masal kereta listrik bawah tanah juga bisa dilihat di kota Nagoya, kota terbesar ketiga di Jepang. Sejak 15 November 1957, kota ini telah mulai mengoperasikan jalur subway pertamanya yakni jalur Nagoya-Sakae. Kini, ia telah memiliki banyak jalur kereta listrik bawah tanah dengan panjang total 89 km yang mengangkut penumpang mencapai rata-rata 1.100.000 orang perharinya. Sementara sistem bus dalam kotanya yang telah beroperasi sejak 1 Februari 1930 dan kini telah memiliki panjang jalur 746 km hanya mengangkut sejumlah 318.000 orang perharinya (data tahun fiskal 1 april 2004).

foto oleh Bambang Setia Budi

Transportasi masal - Suasana penumpang kereta listrik di eki (stasiun) Kanayama, Nagoya. Para penumpang bergerak cepat dan dalam rentang 10-12 menit selalu datang kereta berikutnya. (Foto: Bambang Setia Budi)

Paling tidak hingga saat ini, jenis transportasi masal yang paling efisien dan mendekati ideal adalah kereta listrik. Selain ia dapat mengangkut orang dalam jumlah yang banyak, terjaminnya ketepatan waktu karena tidak pernah terjebak macet, ia juga tidak mengeluarkan gas buangan yang mencemari lingkungan sebagaimana jenis kendaraan lainnya yang mengunakan BBM seperti mobil atau bus. Lebih dari itu, jika jalurnya dibangun di atas tanah dengan rel yang disangga pilar-pilar atau dibangun di bawah tanah (subway) seperti di Jepang, maka ia tidak akan mengganggu kondisi permukaan tanah (untuk daya serap terhadap air, bandingkan dengan pembuatan jalan-jalan raya atau tol) dan juga tidak mengurangi ruang terbuka kota kecuali sedikit saja.

Namun, sekadar intermezzo - untuk kota semacam Jakarta yang sudah menjadi langganan banjir setiap tahunnya, tentu sistem kereta listrik bawah tanah tidak bisa diaplikasikan begitu saja karena musibah banjir membutuhkan pencegahan dan penanganan tersendiri lebih dulu. Bisa dibayangkan jika sistem kereta listrik bawah tanah dijalankan sementara kotanya sendiri masih belum bebas banjir atau pemerintah daerahnya masih kewalahan menangani banjir seperti sekarang, bisa jadi ruang bawah tanahnya menjadi kuburan masal penduduk kota yang mati tenggelam saat terjadi banjir.

Kalau tidak menggunakan kereta listrik, pemakaian bus juga bisa dilakukan sebagaimana yang telah ada sekarang yakni sistem busway transjakarta (koridor 1). Menurut survey terakhir tahun 2004 oleh ITDP (Institute of Transportation and Development Policy) yang berkantor pusat di New York, ada sekitar 7 persen pengguna kendaraan pribadi di Jakarta yang telah beralih menggunakan bus transjakarta ini. Angka itu tentu masih belum banyak mengubah kondisi jalan-jalan di Jakarta yang tetap penuh dengan kendaraan pribadi.

Salah satu contoh terbaik penggunaan transportasi masal bus ini bisa dilihat di Kota Curitiba, Brasil. Kota yang luas areanya 432 km2 dan jumlah penduduk 1,6 juta jiwa ini mengoperasikan 5 tipe angkutan bus dengan daya angkut hingga 270 penumpang. Satu di antaranya yang terkenal adalah tipe busway seperti yang dipraktekkan di Jakarta tersebut. Sebanyak 1100 bus membuat 12.500 total perjalanan sehari dapat mengangkut sebanyak 1,3 juta penumpang perharinya. Ini telah berhasil mengurangi ketergantungan warga kota pada mobil pribadi, dan meningkatkan penumpang hingga 50 kali lipat dibanding 20 tahun sebelumnya.

Penduduk pun hanya mengeluarkan 10% dari pendapatan tahunan mereka untuk belanja transportasi (bandingkan dengan di Jakarta, yang sebelumnya 15%, kini diperkirakan mencapai 20% pasca kenaikan BBM per 1 oktober 2005 yang lalu). Lebih dari itu, kota Curitiba juga mampu menurunkan konsumsi BBM perkapita penduduk rata-rata hingga 30% lebih rendah dibandingkan dengan 8 kota lainnya di Brasil. Tak heran jika ia disebut-sebut juga sebagai salah satu kota dengan tingkat polusi terendah di dunia.

Bandingkan juga dengan situasi transportasi masal di Kota Bandung. Kota dengan luas area hanya 167 km2 (hanya 39% nya luas Curitiba) dan berpenduduk 2,5 juta jiwa ini (1,5 kali lipat lebih besar dengan Curitiba) mengoperasikan mobil kecil-kecil (biasa disebut sebagai angkot/angkutan kota) yang berdaya angkut hanya 10-15 orang sebagai transportasi masal utama. Kini jumlah angkot telah mencapai lebih dari 5.500 unit (5 kali lipat lebih banyak dengan jumlah bus di Curitiba) dengan panjang trayek total 437km (data Juni 2004).

Oleh sebab kapasitas per-unitnya yang kecil ini, efisiensi energinya jelas jauh dari optimal karena menuntut jumlah unit yang banyak sehingga juga menambah volume polusi udara, belum lagi kondisinya pun sama sekali tidak nyaman. Bahkan, karena jumlahnya yang banyak dan berebut jalan dengan banyaknya kendaraan pribadi, ditambah dengan tidak adanya kejelasan di mana ia berhenti dan di mana ia menaikkan penumpang (karena di mana saja bisa berhenti dan di mana saja bisa menaikkan penumpang) maka sering pula malah menimbulkan kemacetan.

Dengan uraian di atas, jelaslah betapa pentingnya masalah transportasi publik/masal ini bagi penghematan energi di kota. Keseriusan perencanaan dan pengelolaannya akan menjadi salah satu faktor kunci bagi pembangunan kota yang hemat energi. Tidak hanya itu, menurut hemat penulis bahwa satu indikasi paling kuat dari keseriusan pemerintah daerah/kota mengelola sebuah kota, dapat dilihat dari sejauh mana keseriusannya merencana dan mengelola transportasi publik/masal ini. Dengan kata lain, kondisinya adalah satu cermin apakah sebuah kota itu dikelola dengan baik atau tidak. (bersambung)

***

Bambang Setia Budi, Peneliti ISTECS, Staf Departemen Arsitektur ITB dan kandidat doktor di Toyohashi University of Technology, Jepang.

Published @ www.beritaiptek.com
Senin, 10 Oktober 2005 05:00:45

About me

  • I'm b s b
  • From Bandung, West Java, Indonesia
  • History, art, and city lover. Mengajar di Sekolah Arsitektur, Perencanaan, dan Pengembangan Kebijakan (SAPPK) ITB. Pendiri dan Direktur Eksekutif HCF (Humane City Foundation)
My profile
Name :
Web URL :
Message :
:) :( :D :p :(( :)) :x
Powered by Blogger
and Blogger Templates