Tuesday, November 01, 2005 

MEMBANGUN KOTA HEMAT ENERGI - Bagian pertama

Oleh Bambang Setia Budi


Bersegeralah melakukan program penghematan! Lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali. Begitulah jika kita membaca data-data cadangan energi yang sering ditulis para peneliti/pakar energi, termasuk yang disampaikan presiden SBY belum lama ini bahwa minyak bumi Indonesia akan habis sekitar 18 tahun ke depan, gas 60 tahun, dan batubara 150 tahun ke depan (detik.com, 28 September 2005).

Jika tidak ada langkah-langkah nyata oleh pemerintah seperti diversifikasi dan penghematan energi dalam skala yang luas, bisa dibayangkan bagaimana kondisi masa depan penduduk negeri yang hidup dengan sedikit atau bahkan tanpa pasokan energi. Dua langkah ini mesti dilakukan secara sinergis dan berkelanjutan, jangan hanya semangat musiman atau sekadar menjadi reaksi spontanitas (kagetan) karena tidak menyiapkan upaya-upaya/program menghemat energi yang terencana dengan baik.

Di banyak negara maju, untuk upaya menghemat energi sudah lama berkembang dan diaplikasikan. Kota-kotanya yang disebut-sebut sebagai tempat paling banyak mengkonsumsi energi juga sudah dikelola dan dirancang oleh pemerintah kotanya dengan konsep kota yang menghemat energi. Apa dan bagaimana saja konsep-konsep kebijakan pembangunan, perencanaan dan pengelolaan kota yang diharapkan dapat menghemat energi tersebut akan dirangkum dalam rangkaian tulisan di bawah ini.

Sebenarnya konsep-konsep atau gagasan-gagasan di bawah ini bukanlah hal yang baru karena di berbagai kota di negara-negara maju sudah banyak dipraktekkan. Untuk kota-kota di negara berkembang, prakteknya memang terlihat jauh lebih sulit ketimbang menemukan konsep/gagasannya itu sendiri. Penyebab utamanya paling tidak adalah pertama, karena tidak/belum adanya kebijakan politik dan kesadaran yang kuat dari pemerintah kota/daerah untuk memprogram, merencanakan dan menerapkan kebijakan hemat energi bagi pengelolaan kota dan penduduknya, dan kedua masih rendahnya kesadaran masyarakat/penduduk kota terhadap penghematan energi.

Hemat penulis, sedikitnya ada tiga persoalan kota yang sangat penting untuk diperhatikan dalam membangun kota hemat energi yakni pertama perencanaan sistem transportasi dan manajemen lalu lintas (transport planning and traffic management), kedua, perencanaan dan perancangan tata ruang kota dan tata guna lahan (urban spaces and land-use planning and design), dan ketiga perencanaan dan perancangan tata lingkungan dan tata bangunan (lanscape and building planning and design). Ketiga pokok persoalan ini akan dikupas dalam tulisan-tulisan berturutan berikut ini. Masing-masing pokok persoalan akan diberikan langkah-langkah strategis untuk membangun dan merencanakan kota yang hemat energi tersebut.
A. Perencanaan Transportasi dan Manajemen Lalu lintas
(Transport Planning and Traffic Management)

Dalam upaya membangun kota hemat energi, beberapa langkah perencanaan transportasi dan manajemen lalu lintas yang bisa dipraktekkan adalah sebagai berikut:

1. Membangun dan menyediakan sarana dan prasarana transportasi publik/masal yang efisien dan representatif

Tak ayal lagi, konsumsi energi terbesar bagi kota-kota adalah dari sektor transportasi ini. Inilah sektor yang paling vital yang menandai denyut kehidupan sebuah kota. Sebuah kota bisa dianggap mati jika di dalamnya tidak ada dinamika pergerakan penduduk dari satu tempat ke tempat yang lain. Makin besar skala sebuah kota, dapat dipastikan makin banyak pula jumlah orang yang bergerak di dalam kota setiap waktunya. Oleh karenanya perencanaan dan pengelolaan sistem transportasi publik/masal yang baik, efisien dan representatif serta pengaturan/manajemen yang tepat akan menjadi faktor kunci bagi penghematan energi di kota.

Penyebab utama tidak hematnya sektor transportasi di berbagai kota di dunia hampir selalu dipastikan karena banyaknya kendaraan pribadi yang memenuhi jalan-jalan di kota. Dengan penentuan sistem dan penyediaan sarana transportasi masal dan efisien, diharapkan banyaknya pengguna mobil pribadi akan berkurang dan beralih kepada transportasi masal ini. Syaratnya, transportasi masal haruslah representatif, efisien, aman, dan nyaman.

Karena sifatnya masal dan efisien, harga semestinya juga bisa murah dan terjangkau oleh semua lapisan masyarakat sehingga juga dapat menekan anggaran transportasi bagi masyarakat luas. Selain itu peraturan daerah/kota bisa dibuat sedemikian hingga menggunakan transportasi masal menjadi lebih hemat dibanding dengan memakai kendaraan pribadi, sehingga ini semakin mendorong sebagian besar masyarakat beralih ke transportasi masal ini.

Melalui sistem transportasi publik/masal yang efisienlah sebuah kota (bahkan negara) bisa sangat menghemat energi, karena pergerakan penduduk dapat diangkut dalam jumlah yang besar pada waktu yang sama. Menengok kota-kota besar di negara maju seperti Jepang, andalan utama transportasi masalnya adalah kereta listrik (densha) atau kereta listrik bawah tanah/subway (cikatetsu) yang bisa mengangkut ribuan orang pada waktu bersamaan ketika jam sibuk. Selain praktis, aman dan nyaman, harga pun sangat terjangkau bagi masyarakat luas untuk ukuran masyarakat di Jepang, juga ketepatan waktunya dapat dijamin dalam hitungan menit.

Di kota-kota besar di Jepang, kita akan menemukan sistem kereta listrik yang sangat efisien yang menghubungkan sub urban dengan area pusat kota. Kereta-kereta itu pun hampir selalu dipenuhi ribuan penumpang. Selain itu, kereta-kereta listrik lokal dengan frekuensi yang sangat tinggi juga siap melayani penumpang di dalam area metropolitan. Sebagai misal pada Yamanote Line, salah satu jalur loop Kota Tokyo, kereta-keretanya berlari setiap tiga menit sekali di siang hari.

Sebagai gambaran dominannya penggunaan transportasi masal kereta listrik bawah tanah juga bisa dilihat di kota Nagoya, kota terbesar ketiga di Jepang. Sejak 15 November 1957, kota ini telah mulai mengoperasikan jalur subway pertamanya yakni jalur Nagoya-Sakae. Kini, ia telah memiliki banyak jalur kereta listrik bawah tanah dengan panjang total 89 km yang mengangkut penumpang mencapai rata-rata 1.100.000 orang perharinya. Sementara sistem bus dalam kotanya yang telah beroperasi sejak 1 Februari 1930 dan kini telah memiliki panjang jalur 746 km hanya mengangkut sejumlah 318.000 orang perharinya (data tahun fiskal 1 april 2004).

foto oleh Bambang Setia Budi

Transportasi masal - Suasana penumpang kereta listrik di eki (stasiun) Kanayama, Nagoya. Para penumpang bergerak cepat dan dalam rentang 10-12 menit selalu datang kereta berikutnya. (Foto: Bambang Setia Budi)

Paling tidak hingga saat ini, jenis transportasi masal yang paling efisien dan mendekati ideal adalah kereta listrik. Selain ia dapat mengangkut orang dalam jumlah yang banyak, terjaminnya ketepatan waktu karena tidak pernah terjebak macet, ia juga tidak mengeluarkan gas buangan yang mencemari lingkungan sebagaimana jenis kendaraan lainnya yang mengunakan BBM seperti mobil atau bus. Lebih dari itu, jika jalurnya dibangun di atas tanah dengan rel yang disangga pilar-pilar atau dibangun di bawah tanah (subway) seperti di Jepang, maka ia tidak akan mengganggu kondisi permukaan tanah (untuk daya serap terhadap air, bandingkan dengan pembuatan jalan-jalan raya atau tol) dan juga tidak mengurangi ruang terbuka kota kecuali sedikit saja.

Namun, sekadar intermezzo - untuk kota semacam Jakarta yang sudah menjadi langganan banjir setiap tahunnya, tentu sistem kereta listrik bawah tanah tidak bisa diaplikasikan begitu saja karena musibah banjir membutuhkan pencegahan dan penanganan tersendiri lebih dulu. Bisa dibayangkan jika sistem kereta listrik bawah tanah dijalankan sementara kotanya sendiri masih belum bebas banjir atau pemerintah daerahnya masih kewalahan menangani banjir seperti sekarang, bisa jadi ruang bawah tanahnya menjadi kuburan masal penduduk kota yang mati tenggelam saat terjadi banjir.

Kalau tidak menggunakan kereta listrik, pemakaian bus juga bisa dilakukan sebagaimana yang telah ada sekarang yakni sistem busway transjakarta (koridor 1). Menurut survey terakhir tahun 2004 oleh ITDP (Institute of Transportation and Development Policy) yang berkantor pusat di New York, ada sekitar 7 persen pengguna kendaraan pribadi di Jakarta yang telah beralih menggunakan bus transjakarta ini. Angka itu tentu masih belum banyak mengubah kondisi jalan-jalan di Jakarta yang tetap penuh dengan kendaraan pribadi.

Salah satu contoh terbaik penggunaan transportasi masal bus ini bisa dilihat di Kota Curitiba, Brasil. Kota yang luas areanya 432 km2 dan jumlah penduduk 1,6 juta jiwa ini mengoperasikan 5 tipe angkutan bus dengan daya angkut hingga 270 penumpang. Satu di antaranya yang terkenal adalah tipe busway seperti yang dipraktekkan di Jakarta tersebut. Sebanyak 1100 bus membuat 12.500 total perjalanan sehari dapat mengangkut sebanyak 1,3 juta penumpang perharinya. Ini telah berhasil mengurangi ketergantungan warga kota pada mobil pribadi, dan meningkatkan penumpang hingga 50 kali lipat dibanding 20 tahun sebelumnya.

Penduduk pun hanya mengeluarkan 10% dari pendapatan tahunan mereka untuk belanja transportasi (bandingkan dengan di Jakarta, yang sebelumnya 15%, kini diperkirakan mencapai 20% pasca kenaikan BBM per 1 oktober 2005 yang lalu). Lebih dari itu, kota Curitiba juga mampu menurunkan konsumsi BBM perkapita penduduk rata-rata hingga 30% lebih rendah dibandingkan dengan 8 kota lainnya di Brasil. Tak heran jika ia disebut-sebut juga sebagai salah satu kota dengan tingkat polusi terendah di dunia.

Bandingkan juga dengan situasi transportasi masal di Kota Bandung. Kota dengan luas area hanya 167 km2 (hanya 39% nya luas Curitiba) dan berpenduduk 2,5 juta jiwa ini (1,5 kali lipat lebih besar dengan Curitiba) mengoperasikan mobil kecil-kecil (biasa disebut sebagai angkot/angkutan kota) yang berdaya angkut hanya 10-15 orang sebagai transportasi masal utama. Kini jumlah angkot telah mencapai lebih dari 5.500 unit (5 kali lipat lebih banyak dengan jumlah bus di Curitiba) dengan panjang trayek total 437km (data Juni 2004).

Oleh sebab kapasitas per-unitnya yang kecil ini, efisiensi energinya jelas jauh dari optimal karena menuntut jumlah unit yang banyak sehingga juga menambah volume polusi udara, belum lagi kondisinya pun sama sekali tidak nyaman. Bahkan, karena jumlahnya yang banyak dan berebut jalan dengan banyaknya kendaraan pribadi, ditambah dengan tidak adanya kejelasan di mana ia berhenti dan di mana ia menaikkan penumpang (karena di mana saja bisa berhenti dan di mana saja bisa menaikkan penumpang) maka sering pula malah menimbulkan kemacetan.

Dengan uraian di atas, jelaslah betapa pentingnya masalah transportasi publik/masal ini bagi penghematan energi di kota. Keseriusan perencanaan dan pengelolaannya akan menjadi salah satu faktor kunci bagi pembangunan kota yang hemat energi. Tidak hanya itu, menurut hemat penulis bahwa satu indikasi paling kuat dari keseriusan pemerintah daerah/kota mengelola sebuah kota, dapat dilihat dari sejauh mana keseriusannya merencana dan mengelola transportasi publik/masal ini. Dengan kata lain, kondisinya adalah satu cermin apakah sebuah kota itu dikelola dengan baik atau tidak. (bersambung)

***

Bambang Setia Budi, Peneliti ISTECS, Staf Departemen Arsitektur ITB dan kandidat doktor di Toyohashi University of Technology, Jepang.

Published @ www.beritaiptek.com
Senin, 10 Oktober 2005 05:00:45

 

MENDESAK "GRAND DESIGN" KOTA BANDUNG

Oleh Bambang Setia Budi


Pada bulan September 2005 ini, tepatnya pada tanggal 25, Kota Bandung akan memasuki usianya yang ke-195 tahun. Sebuah usia yang sebenarnya belum bisa dikatakan terlalu tua untuk ukuran sebuah kota, meski juga tak bisa dikatakan muda. Namun di usia seperti ini, tampaknya Kota Bandung telah mengalami perubahan yang begitu besar dibandingkan dengan awal-awal ketika kota ini dibangun. Sadar atau tidak kota ini telah menjadi kota yang semakin tidak nyaman dari hari ke hari, bulan demi bulan hingga tahun demi tahun.

Kota ini sungguh telah didera banyak masalah perkotaan yang sangat parah. Tulisan ini membandingkan kondisi masa lalu dan saat ini, supaya tampak jelas perbedaan itu. Kemudian diakhiri dengan harapan dan pentingnya gagasan solusi menyeluruh/integral yang bervisi jauh kedepan dalam bentuk sebuah "Grand Design" (kerangka besar) untuk perencanaan, pembangunan dan penataan Kota Bandung yang lebih baik di masa yang akan datang.

Bandung Riwayatmu "Doeloe"

Dari banyak catatan dan cerita sejarah, kita bisa mengapresiasi betapa indahnya Kota Bandung tempo doeloe. Inilah kisah sebuah kota yang konon dulunya begitu teratur dan nyaman, yang terletak dalam dasar "cawan" yang dikelilingi oleh pegunungan-pegunungan. Inilah kota yang dulunya menawarkan lingkungan alam yang sangat indah lebih dari kebanyakan kota lainnya di Indonesia. Lebih dari itu, inilah sebuah kota yang udaranya relatif sejuk karena terletak dalam dataran cukup tinggi (sekitar 630m di atas permukaan air laut), banyaknya taman-taman kota, dan pohon-pohon yang tinggi nan besar di sepanjang jalan-jalan kota.

Berawal dari hutan lebat yang menjadi tempat buangan orang-orang yang terhukum oleh pemerintah Belanda, tak lama kemudian ia segera berubah menjadi sebuah kota dimana sejarah mencatatnya sebagai tempat yang memiliki segudang daya tarik. Cerita tentang orang-orang Belanda terhukum yang dibuang itu konon bukannya sengsara, tetapi malah seakan menemukan surga dengan membuka lahan berkebun, usaha penggergajian kayu, dll. Sehingga, daerah yang awalnya hanya berpenduduk tak lebih dari 25-30 orang pada tahun 1641, tak lama kemudian menjadilah sebuah kota sebagai tempat peristirahatan orang-orang Belanda. Oleh orang-orang Belanda itu, kota ini lalu dibangun mengacu pada perencanaan kota-kota di Eropa khususnya kota-kota di negeri Belanda namun dengan nuansa tropis.

Sejarah mencatat adanya perkembangan penting di sekitar tahun 1810, yakni ketika Gubernur-Jenderal Hermann W. Daendels menancapkan sebuah tongkat di suatu titik (Kilometer 0) di Jalan Raya Pos di kota Bandung. Hampir bersamaan dengan itu dipindahkanlah pula pusat ibukota Bandung yang lama dari Karapyak ke kawasan Alun-alun sekarang oleh Bupati Raden Wiranatakusumah II atas perintah Gubernur- Jenderal. Namun demikian perkembangan yang paling menonjol dan dramatis adalah sejak pemerintah kolonial Belanda berencana memindahkan pusat pemerintahannya dari Batavia (Jakarta) ke Bandung pada tahun 1917.

Sejalan dengan rencana tersebut, maka semakin ramailah kaum pendatang dari banyak penjuru Nusantara serta imigran dari Eropa dan China. Pembangunan berbagai infrastruktur dan sarana kota segera intensif dilakukan. Selama dekade 1920 hingga 1930-an tercatat begitu banyak bangunan monumental yang dibangun dan telah menjadi ciri dan identitas kota Bandung hingga kini seperti bangunan Department Verkeer en Waterstaat atau kini dikenal Gedong Sate sebagai pusat pemerintahan nasional, dan bangunan Aula Barat dan Timur Kampus ITB serta master plan kampus untuk cikal bakal sekolah tinggi teknik pertama di Indonesia. Selain itu dibangun pula gedung-gedung lainnya yang tak kalah menarik yang menjadi identitas kota seperti Villa Isola, Hotel Savoy Homann, Hotel Preanger, Gedung Merdeka, dll.

Pada sekitar dekade tersebut, rupanya para arsitek Belanda telah merancang dan membangun banyak gedung yang sangat menarik hingga menempatkan Bandung pada urutan 9 dari 10 kota dengan arsitektur Art Deco terbanyak di dunia, satu tingkat di atas Kota Paris (GlobeTrotter, 2001). Itulah di antara aset-aset paling berharga yang menjadi ciri dan identitas Kota Bandung. Wajarlah jika Kota Bandung tempo doeloe juga dikenal dengan sebutan legendarisnya Parijs van Java.

Selain bangunan, rancangan ruang-ruang terbuka hijau kota juga telah ikut membentuk identitas Kota Bandung tempo doeloe di mana terdapat banyaknya taman, lapangan dan ruang terbuka kota yang menghiasinya. Tampaknya konsep membangun kota taman (garden city) yang digagas oleh Sir Thomas More pada tahun 1516 hendak diwujudkan oleh para perencana Kota Bandung pada waktu itu (Haryoto Kunto, 1986). Tak heran jika Kota Bandung tempo doeloe dengan penataan alam, taman dan lingkungannya seperti itu juga mendapatkan julukan dan pujian sebagai Kota Kembang.

Gambaran-gambaran keindahan dan kenyamanan Kota Bandung tempo doeloe sudah cukup banyak ditulis dalam buku-buku karangan kuncen Bandung alm. Haryoto Kunto seperti Wajah Bandoeng Tempo Doeloe (1984), Semerbak Bunga di Bandung Raya (1986), Ramadhan di Priangan (1996), dll. Di samping itu, banyak pula foto dan lukisan tua sebagai bukti visual paling otentik yang dapat kita temukan yang menggambarkan suasana keindahan dan kenyamanan itu.

Selain gambar-gambar dan lukisan-lukisan tua tersebut, banyak pula gubahan lagu tentang Bandung yang seakan ingin ikut menjadi saksi keindahannya yang dapat memperkuat imaji kita bahwa Kota Bandung tempo doeloe adalah "Surga Tatar Sunda". Rupanya pesona kota ini telah banyak mengilhami para pencipta lagu seperti Ismail Marzuki dalam Sapu Tangan dari Bandung Selatan, Iwan Abdul Rachman pada Senja Jatuh di Bandung Utara, Flamboyan, atau Melati dari Jaya Giri, serta Tetty Kadi dengan Kota Kembang-nya, dll. Tentang lagu-lagu yang menggambarkan keindahan dan kenyamanan Bandung tempo doeloe ini telah ditulis dengan menarik oleh Eddy D. Iskandar pada artikelnya berjudul "Lagu Bandung Tempo Doeloe". (Pikiran Rakyat, 26 September 2004).

Demikianlah kisah wajah Kota Bandung "tempo doeloe", begitu dipuja dan didamba hingga mengilhami banyak karya lagu. Namun kini, kisah itu seperti sekadar cerita-cerita masa lalu atau dongengan-dongengan masa silam, seiring dengan terkikisnya keindahan dan kenyamanan itu. Kini, banyaknya pujian masa lalu itu seakan telah menjadi tema mimpi di siang hari.

Bandung Nasibmu Kini

Rupanya dinamika perubahan di kota ini telah tumbuh dan bergerak sangat cepat. Kota Bandung yang luasnya sekitar 16.730 hektar ini dulunya dirancang sebagai kota taman dan peristirahatan untuk sekitar 250.000 penduduk, namun dari sensus tahun 2001 saja penduduk kota Bandung sudah mencapai 2.141.847 orang. Padahal seiring dengan pertambahan jumlah penduduk kota, maka kebutuhan sarana pelayanan dan infrastruktur kota sudah menjadi kemestian, dari mulai kebutuhan lahan dan bangunan-bangunan baru, jalan-jalan dan sarana transportasi, infrastuktur sanitasi dan sampah, dan lain sebagainya.

Namun sungguh disayangkan, dinamika perubahan yang cepat itu tampaknya kurang diimbangi dengan perencanaan dan pengelolaan kota secara maksimal dan profesional. Ini dibuktikan dengan belum adanya konsep menata kota yang utuh, integral, bervisi jauh ke depan (misalnya 25-50 th ke depan). Bandingkan dengan kota lain di dunia seperti Kota Melbourne yang memiliki visi 2030 yang menggagas kota kompak (A more compact city) dengan guideline dan kebijakan yang menyeluruh khususnya masalah konsentrasi pembangunan pusat-pusat kota dan penyediaan infrastruktur transportasi masal.

Penyelesaian masalah demi masalah masih sering terlihat dilakukan secara sporadis, setempat, berjangka pendek dan kurang mempertimbangkan adanya persoalan kota lainnya. Proyek-proyek jalan layang, pelebaran jalan untuk menghindari kemacetan setempat, atau yang belum lama ini seperti rencana proyek jalan tol Dago-Lembang hanyalah contoh-contoh sederhana dari solusi-solusi pengambilan keputusan yang parsial tersebut.

Padahal, menyelesaikan problem kemacetan dengan cara memperlebar jalan, membuat jalan layang hingga jalan tol seperti itu adalah ibarat memperbesar/memperlebar pakaian bagi tubuh yang makin gemuk, sementara persoalan tubuh yang makin gemuk itu sendiri tidak pernah diantisipasi dan diselesaikan. Dengan cara begitu, kemacetan memang mungkin akan berkurang sejenak tetapi tidak lama lagi dipastikan akan muncul kembali seiring dengan semakin bertambah banyaknya kendaraan umum dan/atau kendaraan pribadi.

Selain dari itu, bila dicermati keputusan-keputusan pembangunan ruang-ruang kota juga sering terlihat lebih banyak ditentukan oleh para pemilik modal. Tampaknya perhatian pemerintah masih terlalu sibuk mengurusi pendapatan daerah sehingga mengabaikan pentingnya rencana pembangunan kota yang meliputi penataan ruang kota dan pengelolaannya. Oleh karena itu, sebuah kenyataan pahit yang kini semuanya sudah mafhum bahwa kota ini hari demi hari bukan sekadar tidak indah lagi tetapi semakin tambah semrawut, semakin tidak nyaman, dan bahkan telah mengancam kemanusiaan serta masa depan penduduk kota itu sendiri.

Telah begitu banyak masalah yang dihadapi kota Bandung saat ini, beberapa di antaranya: pertama, masalah kemacetan yang luar biasa, di mana paling sedikit terdapat 30-40 titik-titik kemacetan. Saking banyaknya kemacetan ini, sampai-sampai sudah muncul opini yang pejoratif Bandung Lautan Macet. Menurut Pakar transportasi dari jurusan Perencanaan Wilayah dan Kota Institut Teknologi Bandung Prof Dr Ir Kusbiantoro, Bandung memang tergolong kota paling macet jika dibandingkan dengan kota-kota besar lain di Indonesia.

Kedua, masalah sanitasi yang buruk dan sampah yang menggunung. Peristiwa paling tragis yan terjadi belum lama ini adalah banyaknya penduduk yang mati akibat tertimbun longsoran sampahnya manusia itu sendiri. Sejak peristiwa itu, muncul pula opini lain yang tak kalah buruknya Bandung Lautan Sampah.

Ketiga, masalah polusi udara yang sudah melewati ambang batas, yang mengakibatkan udara menjadi panas dan tidak sejuk lagi. Menurut banyak pakar lingkungan, hal ini makin diperparah karena Kota Bandung berada dalam kondisi cekungan yang menjadikan pada malam hari partikel polutan mengendap ke bawah, sementara pada siang hari menguap tapi tidak seluruhnya terangkat.

Keempat, masalah kaki lima yang semakin hari semakin bertambah banyak dan tidak mudah pengaturannya. Meski demikian, perlu disadari bahwa mereka juga warga kota yang punya haknya terhadap kota. Pembangunan kota sudah semestinya tidak boleh mengaleniasi kota dengan warganya. Kelima, masalah bangunan-bangunan tua yang rusak, tak terawat, dan makin banyak yang hilang. Hal ini sungguh disayangkan, karena berarti juga hilangnya aset-aset berharga yang menjadi identitas kota.

Dan masih banyak lagi masalah-masalah itu yang jika didaftar maka bisa berpuluh-puluh masalah yang semuanya terkait satu dengan yang lainnya. Oleh karena itu perlu segera dilakukan langkah-langkah yang strategis, profesional dan cerdas untuk mengatasi banyaknya masalah ini, jangan sampai berkembang opini baru: Bandung Lautan Masalah.

"Grand Design" Sebagai Solusi Integral

Kota adalah akumulasi produk pengambilan keputusan dari banyak pihak dalam berbagai kurun waktu. Jika proses-proses pengambilan keputusan itu tidak berpedoman pada satu acuan yang jelas dan utuh, maka aneka keputusan dari banyak pihak itu akan berjalan sendiri-sendiri. Akibat yang sering terjadi adalah pada saat satu keputusan telah dibuat dan dijalankan ternyata justru memproduksi masalah baru atau menyeret masalah lainnya menjadi semakin parah dan rumit untuk ditangani.

Persoalan-persoalan Kota Bandung jelas sudah tidak bisa lagi diselesaikan dengan gagasan-gagasan atau proyek-proyek parsial, sporadis, dan tambal sulam yang hanya untuk menjawab kebutuhan jangka pendek. Karena kota ini sudah sangat jauh berkembang dan berubah dari konsep awalnya pada waktu dibangun oleh pemerintah Kolonial Hindia Belanda di abad ke-19 dulu. Lagi pula masalah-masalah kota itu akan selalu terkait satu sama lain, saling jalin-menjalin bak benang berkelindan.

Oleh karenanya, perencanaan kota ini memerlukan visi, konsep dan gagasan utuh yang menerobos jauh ke masa depan dan nantinya secara konsisten harus dipegang teguh. Perlu segera dibuat sebuah "Grand Design" penataan baru Kota Bandung yang integral/menyeluruh dan berwawasan jauh kedepan misalnya untuk 25-50 tahun yang akan datang. Sudah sangat banyak pakar berikut institusinya di kota ini, dari sejarahwan, seniman-budayawan, arsitek, desainer, perencana kota, pakar pengembangan wilayah, pakar transportasi, ahli lingkungan, kalangan LSM seperti Bandung Heritage, pecinta Bandung, dan lain-lain. Mereka semua perlu dilibatkan untuk mendapat solusi yang menyeluruh.

Namun demikian, mengharap perencanaan dan perbaikan kota secara menyeluruh kepada pemerintah kota saat ini, ibarat menggerakkan sebuah gunung. Maka inisiatif itu tampaknya hanya bisa diharapkan dari kelompok-kelompok kecil yang memiliki komitmen dengan agenda besar seperti ini. Kita berharap semoga muncul satu kelompok atau LSM yang dengan tulus menjadi pionir penggerak gagasan grand design ini, dan secara konsisten memperjuangkannya sekaligus mensosialisasikannya kepada masyarakat luas.

***

Bambang Setia Budi, Staf Pengajar Departemen Arsitektur ITB, Peneliti ISTECS dan Kandidat Doktor Arsitektur di Toyohashi University of Technology, Jepang.

Published @ www.beritaiptek.com
Sabtu, 10 September 2005 07:37:44

 

KRISIS ENERGI DAN PERENCANAAN KOTA KOMPAK

Oleh Bambang Setia Budi


Dalam beberapa bulan terakhir, harga minyak dunia tiba-tiba kembali melambung, tak tanggung-tanggung hingga mencapai US$ 56,96 perbarel di bursa komoditas berjangka New York (New York Mercantile Exchange) sejak pertengahan Maret 2005 yang lalu. Harga ini melebihi level tertinggi yang pernah dicapai tahun lalu yakni US$ 55,54 per barel (Tempo Interaktif, 17 Maret 2005). Kematian Raja Fahd baru-baru ini juga membuat harga minyak kembali naik sampai bahkan di atas US$ 61 per barel, meskipun belum setinggi harga minyak pada 7 juli 2005 pasca serangan bom di London yakni US$ 62 per barel (Kompas, 2 Agustus 2005).

Tak ayal lagi, banyak negara-negara konsumen minyak dunia termasuk Indonesia, kelimpungan. Bayangkan, pemerintah Indonesia sebelumnya telah mengasumsi harga minyak dalam APBN-P 2005 hanya sebesar US$ 35 per barel dengan nilai tukar rupiah Rp. 9.000 per dolar. Padahal, dalam kondisi rakyat Indonesia seperti saat ini, menaikkan harga BBM adalah sangat riskan yang bisa-bisa memicu gejolak sosial hingga mengancam stabilitas politik nasional.

Oleh karena itu, pemerintah dan banyak pihak telah menggaungkan himbauan efisiensi dan efektifitas kerja guna menekan penggunaan BBM. Memang benar, secara normatif, menghemat konsumsi energi khususnya penggunaan minyak BBM adalah salah satu pilihan bijak. Namun, sebenarnya ada hal yang lebih sistemik, rasional dan berjangka panjang untuk mengurangi secara signifikan konsumsi energi tersebut yakni dengan konsep perencanaan ruang-ruang kota yang dapat menghemat energi dimana manusia beraktifitas di dalamnya. Memang cara ini tidak bisa dibuat dengan cepat sehingga segera pula terlihat hasilnya, karena dibutuhkan perencanaan yang matang, memerlukan komitmen dan waktu yang cukup panjang seiring dengan perkembangan kota itu sendiri.

Kota dan Konsumsi Energi

Ada semacam konsensus yang berkembang bahwa pembangunan berkelanjutan adalah sangat esensial bagi perkembangan kota-kota di masa depan. Karena aktifitas manusia dipercaya tidak akan dapat selamanya menggunakan dan mengambil sumber-sumber yang ada sekarang tanpa akan membahayakan kesempatan bagi generasi berikutnya. Kota-kota adalah area penting bagi berbagai aktifitas manusia dan mereka ini adalah konsumen terbesar dari sumber-sumber alam.

Paling tidak separuh populasi penduduk dunia kini diperkirakan telah tinggal di kota-kota. Di tahun 1995 saja, telah 45% dari penduduk dunia tinggal di area urban, dan sekitar 1 milyar dari 2.6 milyar penduduk dunia telah tinggal di kota-kota besar (Jenck, 1996). Di masa depan, kecenderungan banyaknya populasi penduduk dunia yang tinggal di area urban ini diprediksi akan makin meningkat. Dengan kecenderungan ini maka kota-kota akan makin dipandang sebagai lokasi yang paling banyak mengkonsumsi energi.

Kondisi ini akan semakin parah lagi jika perencanaan dan pengelolaan kota tidak mempertimbangkan aspek-aspek ruang kota yang dapat menghemat energi dan mendukung efisiensi ini. Terbukti banyak kota-kota di negara berkembang yang belum mempertimbangkan aspek-aspek ini dalam perencanaan dan pengelolaannya.

Munculnya kota-kota yang tersebar ke dalam wilayah pinggiran, berakibat kepada tersebarnya dan kurang meratanya penyediaan pelayanan-pelayanan dari sub-sub urban. Akibat lainnya adalah mahalnya biaya pembangunan infrastruktur, meningkatnya kemacetan karena bertambahnya volume lalu lintas, hilangnya banyak lahan pertanian, berkurangnya kenyamanan hidup baik di kota maupun wilayah pinggiran, dan terancamnya kondisi stabilitas pedesaan. Pada akhirnya, konsumsi energi bagi kota dan warganya juga akan semakin besar dan tak terelakkan.

Dengan kepadatan populasi penduduk yang besar, maka konsentrasi persoalan-persoalan lingkungan, konsumsi sumber-sumber alam termasuk minyak khususnya, akan terakumulasi pada problematika kota ini. Oleh karena itu merencana, mengelola dan memenej bentuk dan ruang kota dengan kebijakan publik yang benar, akan menjadi satu faktor kunci keberhasilan penghematan ini. Pada akhirnya, jika kebijakan dan prakteknya dapat ditemukan dan dijalankan dengan benar, sudah dipastikan akan mendapatkan efisiensi dan keuntungan yang besar.

Konsep Kota Kompak

Dalam berbagai diskusi tentang pola-pola ruang dan bentuk kota yang berkelanjutan, wacana yang diistilahkan sebagai Kota Kompak (compact city) tampaknya telah menjadi isu paling penting dewasa ini. Perhatian besar saat ini telah memfokuskan pada hubungan antara bentuk kota dan keberlanjutan, bahwa bentuk dan kepadatan kota-kota dapat berimplikasi pada masa depan mereka.

Dari debat itu, argumen-argumen yang kuat sedang dimunculkan bahwa Kota Kompak adalah bentuk kota yang dianggap paling berkelanjutan. Inilah yang diungkapkan oleh Mike Jenks, Elizabeth Burton dan Katie Williams (1996) dalam buku mereka berjudul Compact City: A Sustainable Urban Form? Buku ini juga sekaligus mengajukan berbagai opini dan riset dari serangkaian disiplin ilmu, dan memberikan suatu pemahaman dari debat teoritis dan tantangan-tantangan praktis yang melingkupi gagasan Kota Kompak ini.

Tidak dipungkiri bahwa gagasan Kota Kompak didominasi oleh model dasar dari pembangunan yang padat dari banyak kota-kota bersejarah di Eropa. Maka tidak mengherankan jika para penganjur paling kuat bagi Kota Kompak adalah Komunitas Eropa (Commission of the European Communities, 1990).

Kota Kompak ini memang digagas tidak sekadar untuk menghemat konsumsi energi, tetapi juga diyakini lebih menjamin keberlangsungan generasi yang akan datang. Jenks menyebutkan bahwa ada suatu hubungan yang sangat kuat antara bentuk kota dengan pembangunan berkelanjutan, tetapi sebenarnya tidaklah sesederhana itu atau bahkan langsung berbanding lurus. Ini seolah-olah telah dikesankan bahwa kota yang berkelanjutan adalah ”Mesti terdapat suatu ketepatan dalam bentuk dan skala untuk berjalan kaki, bersepeda, efisien transportasi masal, dan dengan kekompakan dan ketersediaan interaksi sosial” (Elkin et.al., 1991, p.12).

Namun demikian, dalam Kota Kompak ini terdapat gagasan yang kuat pada perencanaan ”urban containment”, yakni menyediakan suatu konsentrasi dari fungsi-fungsi campuran secara sosial berkelanjutan (socially sustainable mixed uses), mengkonsentrasikan pembangunan-pembangunan dan mereduksi kebutuhan perjalanan, hingga mereduksi emisi kendaraan-kendaraan. Oleh karena itu promosi penggunaan public transport (transportasi publik/masal), kenyamanan berlalu-lintas, berjalan kaki dan bersepeda adalah sering dikutip sebagai solusi (Elkin, et.al., 1991; Newman, 1994).

Lebih lanjut, melalui perencanaan efisiensi penggunaan lahan, yang dikombinasikan dengan skema daya listrik dan pemanasan, dan bangunan hemat energi juga akan dapat mereduksi emisi-emisi polutan yang beracun. (Nijkamp and Perrels, 1994; Owens, 1992). Kepadatan tinggi dapat membantu membuat persediaan amenities (fasilitas-fasilitas) dan yang secara ekonomis viable, serta mempertinggi keberlanjutan sosial (Haughton and Hunter, 1994).

Peluang Penerapannya di Indonesia

Menerapkan secara penuh gagasan Kota Kompak bagi perencanaan kota-kota di Indonesia jelas masih membutuhkan kajian, studi dan riset tersendiri. Bagaimanapun konsep Kota Kompak bukanlah sebuah konsep yang kaku dan sederhana yang menggambarkan sebuah bentuk kota tertentu. Adanya perbedaan masing-masing karakteristik kota dan budaya masyarakat yang menghuninya harus dimaknai bahwa Kota Kompak juga perlu dilihat dalam konteks kekhasan budaya, ekonomi dan identitas fisik kotanya saat ini untuk perubahan kota (urban change) di masa datang yang lebih baik dan efisien.

Namun ada hal yang sudah pasti yakni jika kita melihat Kota-kota Besar di Indonesia saat ini seperti Jakarta dan Surabaya, adalah terjadinya perkembangan kota yang padat dan semakin melebar secara horisontal tanpa batas yang jelas. Pelebaran ini mengakibatkan munculnya kota-kota pinggiran yang menjadi penyangga akibat perkembangan Kota Jakarta seperti Kota Depok, Bogor, Bekasi, Tangerang, dll. Banyak pegawai yang bekerjanya di Jakarta tetapi tinggalnya di Kota-kota pinggiran tersebut sudah dipastikan hadirnya inefisiensi dari segi waktu, tenaga, dana, sumber-sumber energi dan lain-lain. Maka membangun kota yang padat dan vertikal sudah menjadi sebuah kemestian bagi perkembangan kota Jakarta dan kota besar lainnya di masa datang.

Inefisiensi itu lebih diperparah lagi ketika perkembangan kota-kota besar itu belum diiringi dengan penyediaan transportasi masal yang representatif dan memadai. Bagi kota-kota besar di Indonesia, dalam hal penyediaan public transport seperti busway, monorail, dan berbagai jenis mode transportasi masal jelas suatu yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Kemacetan di banyak kota-kota besar akibat meningkatnya volume kendaraan karena bertambahnya pengguna mobil pribadi adalah sesuatu yang mesti segera diakhiri. Pada akhirnya konsumsi energi khususnya minyak BBM yang harganya fluktuatif itu diharapkan juga bisa sangat terkurangi. Wallahu alam bishawwab.

***

Bambang S. Budi, Staf Pengajar Departemen Arsitektur ITB dan Kandidat Doktor Arsitektur di Toyohashi University of Technology, Jepang.

Published @ www.beritaiptek.com
Senin, 8 Agustus 2005 00:48:24

 

masih susah ya ngeblog teh ;-)

minta diajarin sama si eneng

About me

  • I'm b s b
  • From Bandung, West Java, Indonesia
  • History, art, and city lover. Mengajar di Sekolah Arsitektur, Perencanaan, dan Pengembangan Kebijakan (SAPPK) ITB. Pendiri dan Direktur Eksekutif HCF (Humane City Foundation)
My profile
Name :
Web URL :
Message :
:) :( :D :p :(( :)) :x
Powered by Blogger
and Blogger Templates