Friday, June 09, 2006 

PENGHEMATAN ENERGI DALAM SEMUA ASPEK KEHIDUPAN

24-Nov-2005 07:32

Last modified: 24/11/05

GERAKAN hemat energi mau tak mau harus segera direalisasikan dalam semua aspek kehidupan masyarakat Indonesia. Sebab, harga bahan bakar minyak (BBM) yang makin melambung tinggi, sangat potensial menambah jumlah rakyat miskin di negeri ini. Karena itu, penggunaan batu bara kini digalakkan. Yang penting, efek negatif penggunaan energi itu harus ditekan seminimal mungkin agar tujuan penghematan itu tercapai.


Membangun Kota Hemat Energi

PENGHEMATAN energi sejatinya hanya akan berhasil jika manajemen perkotaan memang dirancang sebagai kota hemat energi. Manajemen kota hemat energi akan dengan sendirinya melahirkan budaya dan kebiasaan hemat energi.

Demikian dikatakan pakar tata kota dari Institut Teknologi Bandung, Bambang Setia Budi yang tak lama lagi akan meraih gelar Doktor Arsitektur dari Toyohashi University of Technology, Jepang.

Menurut Bambang, di banyak negara maju, upaya menghemat energi sudah diawali sejak merancang sistem penataan kota. Menurut Bambang, sedikitnya ada tiga persoalan kota yang sangat penting untuk diperhatikan dalam membangun kota hemat energi.

Dalam upaya membangun kota hemat energi, beberapa langkah perencanaan transportasi dan manajemen lalu lintas yang terpenting adalah membangun dan menyediakan sarana dan prasarana transportasi publik/masal yang efisien dan representatif. Makin besar skala sebuah kota, dapat dipastikan makin banyak pula jumlah orang yang bergerak di dalam kota setiap waktunya.

Oleh karenanya, perencanaan dan pengelolaan sistem transportasi publik/masal yang baik, efisien, dan representatif serta pengaturan/manajemen yang tepat akan menjadi faktor kunci bagi penghematan energi di kota. Penggunaan mobil pribadi akan rendah karena merasa cukup dengan transportasi publik. Dengan begitu penghematan energi sangat besar.

Menengok kota-kota besar di negara maju, seperti Jepang, andalan utama transportasi massalnya adalah kereta listrik (densha) atau kereta listrik bawah tanah/subway (cikatetsu) yang bisa mengangkut ribuan orang pada waktu bersamaan ketika jam sibuk.

Selain praktis, aman, dan nyaman, harga pun sangat terjangkau bagi masyarakat luas untuk ukuran masyarakat di Jepang. Juga ketepatan waktunya dapat dijamin dalam hitungan menit. "Di kota-kota besar di Jepang, kita akan menemukan sistem kereta listrik yang sangat efisien yang menghubungkan sub urban dengan area pusat kota. Kereta-kereta itu pun hampir selalu dipenuhi ribuan penumpang," katanya.

Selain itu, kereta-kereta listrik lokal dengan frekuensi yang sangat tinggi juga siap melayani penumpang di dalam area metropolitan. Misalnya, Yamanote Line, salah satu jalur loop Kota Tokyo, kereta-keretanya berlari setiap tiga menit sekali di siang hari. Sebagai gambaran dominannya penggunaan transportasi masal kereta listrik bawah tanah juga bisa dilihat di Kota Nagoya, kota terbesar ketiga di Jepang.

Sejak 15 November 1957, kota ini telah mulai mengoperasikan jalur subway pertamanya, yakni jalur Nagoya-Sakae. Kini, ia telah memiliki banyak jalur kereta listrik bawah tanah dengan panjang total 89 km yang mengangkut penumpang mencapai rata-rata 1.100.000 orang per hari.

Sementara sistem bus dalam kotanya yang telah beroperasi sejak 1 Februari 1930, kini telah memiliki panjang jalur 746 km hanya mengangkut sejumlah 318.000 orang per hari (data tahun fiskal 1 April 2004).


TransJakarta

Menurut Bambang, pemakaian bus sistem busway TransJakarta sudah tepat menuju kota hemat energi. Meski belum cukup mengalihkan penggunaan dari penggunaan mobil pribadi ke busway, namun arahnya sudah tepat.

"Indonesia bisa bercermin dari Curitiba, Brasil. Kota yang luas areanya 432 km2 dan jumlah penduduk 1,6 juta jiwa ini mengoperasikan 5 tipe angkutan bus dengan daya angkut hingga 270 penumpang," katanya.

Sebanyak 1.100 bus membuat 12.500 total perjalanan sehari dapat mengangkut sebanyak 1,3 juta penumpang per hari. Ini telah berhasil mengurangi ketergantungan warga kota pada mobil pribadi, dan meningkatkan penumpang hingga 50 kali lipat dibanding 20 tahun sebelumnya.

Penduduk pun hanya mengeluarkan 10 persen dari pendapatan tahunan mereka untuk belanja transportasi. Bandingkan dengan di Jakarta, yang sebelumnya 15 persen, kini diperkirakan mencapai 20 persen pascakenaikan BBM per 1 Oktober 2005 yang lalu.


Jalur Sepeda

Lebih dari itu, Curitiba juga mampu menurunkan konsumsi BBM per kapita penduduk rata-rata hingga 30 persen lebih rendah dibandingkan dengan delapan kota lainnya di Brasil. Tak heran jika ia disebut-sebut juga sebagai salah satu kota dengan tingkat polusi terendah di dunia.

Sukses lain dari Jepang adalah tersedianya jalur sepeda dan pejalan kaki (pedestrian) yang aman dan nyaman. Bersepeda dan berjalan kaki adalah salah satu alternatif moda perjalanan yang paling mungkin untuk menghemat energi di kota.

Keduanya sudah tentu merupakan moda transportasi yang tidak bermotor (non-motorized transportation atau NMT) sehingga tidak membutuhkan BBM sama sekali. Oleh karenanya, juga tidak menghasilkan polusi bagi udara di kota (ramah lingkungan). Bersepeda maupun berjalan kaki, dapat dilakukan oleh siapa saja dari semua golongan, baik kaya atau miskin, tua atau muda.

Penggunaan sepeda di Jakarta masih sangat rendah. Sebagai gambaran, menurut Darmaningtyas melalui survey INSTRAN di akhir Juni 2005, dalam sehari jumlah sepeda yang melewati Jl Sudirman Jakarta dari arah Jalan Thamrin hanya 52 unit, sedangkan yang menuju ke arah Jl Thamrin hanya mencapai 122 unit. Mereka itu adalah para pedagang keliling, seperti siomay, bakso, dan roti. Terlalu minim pelajar dan pekerja kantoran yang bersepeda.

Kota-kota di Cina, seperti Tianjin dan Shenyang, menempati persentase terbesar, yakni 77 dan 65 persen penduduk yang mengendarai sepeda untuk perjalanan mereka. Sebagai gambaran, dari pemantauan lalu lintas di Kota Tianjin, konon lebih dari 50.000 sepeda melintas di satu persimpangan jalan dalam waktu satu jam.

Namun yang paling fenomenal dan menarik untuk dicermati adalah upaya yang dilakukan pemerintah Kota Bogota, Ibukota Colombia di Amerika Tengah. Untuk menghemat energi dan mengurangi polusi udara kota, Enrique Penalosa, Wali Kota Bogota tahun 1998-200, membangun jalur sepeda sepanjang 350 km. Ini merupakan kota yang memiliki jalur sepeda terpanjang di Amerika Latin maupun di kota-kota negara berkembang lainnya. Jalur-jalur sepeda dan pedestrian itu dibuat sangat kompak, menerus, dan terintegrasi, serta akses yang sangat luas hingga menembus berbagai kawasan pemukiman. (L-11)

Source:
SuaraPembaruan online
http://www.suarapembaruan.com/News/2005/11/24/
LSM Pelangi Jakarta
http://www.pelangi.or.id/othernews.php?nid=581

Wednesday, June 07, 2006 

SCHOEMAKER DAN PENANDA KOTA BANDUNG

oleh Bambang Setia Budi
(tulisan lama)

Sungguh memprihatinkan ketika mengikuti berita di Harian Kompas (25/7) bahwa makam Prof. Ir. Charles Proper Schoemaker akan dibongkar karena pajak makamnya sejak tahun 1994 sebesar Rp 180.000,- belum dibayar. Namun syukurlah hari berikutnya di harian yang sama diberitakan pembongkaran makam Schoemaker di Taman Pemakaman Umum Pandu, Bandung dibatalkan setelah ada yang mau peduli dengan masalah ini dengan melunasi tunggakan retribusi.

Boleh jadi belum banyak orang tahu bahwa arsitek bernama lengkap Prof Ir Kemal Charles Proper Wolff Schoemaker (1882-1949) memiliki banyak peran dalam pembangunan gedung bersejarah di Kota Bandung, kota di mana ia dimakamkan. Ia seorang dari beberapa arsitek Belanda ternama yang banyak berkarya di Indonesia selain Thomas Karsten, dan Henry MacLaine Pont. Dia juga guru presiden pertama RI Soekarno dan para insinyur pribumi angkatan pertama semasa kuliah di Technische Hogeschool (kini menjadi Institut Teknologi Bandung/ITB).

Selain bangunan, tidak sedikit tulisan hasil penelitiannya mengenai kebudayaan Indonesia khususnya tentang arsitektur tradisional termasuk candi. Bersama MacLaine Pont, arsitek yang merancang Kampus ITB, arsitek kelahiran Banyubiru, Ambarawa, ini membentuk kesatuan pandangan arsitektur yang sangat memperhatikan potensi dan budaya setempat yang tampak pada karyanya.

Berikut ini sebagian karyanya yang bertebaran di penjuru Kota Bandung, mulai dari gedung pertemuan, hotel, bangunan kantor/komersial, masjid dan gereja, rumah tinggal, penjara, hingga laboratorium penelitian. Hampir semua karya itu menjadi penanda fisik penting di Bandung.


***

GEDUNG Merdeka di Jalan Asia-Afrika merupakan salah satu artefak yang sangat menyejarah di Kota Kembang karena di gedung tersebut pernah diselenggarakan Konferensi Asia-Afrika tahun 1955.

Pada abad ke-19 gedung itu mulanya digunakan sebagai gedung Societeit Concordia yang merupakan perkumpulan orang-orang terkemuka. Namun, pada tahun 1930 bangunan itu dirombak total dari idiom klasik ke Arsitektur Modern oleh Schoemaker. Karena menjadi bangunan yang teramat penting, sejak tahun 1955 hingga saat kini tidak ada sedikit pun dilakukan perubahan berarti.

Karya lain adalah hotel paling eksotik yang dibangun pada masa kolonial yakni Hotel Preanger. Hotel ini jelas mengingatkan pada langgam seni dekoratif Frank Lloyd Wright pada awal 1920-an, khususnya karya Imperial Hotel di Tokyo (1915-1925).

Motif geometrik secara dekoratif mengisi pada bidang dan pertemuan elemen bangunan. Karya ini memberi identitas tersendiri yang menegaskan sebutan Art Decorative. Pengaruh ini sebenarnya muncul dalam banyak bangunan kolonial di Bandung. Boleh jadi, gejala ini juga merupakan imbas dari maraknya langgam serupa di kota-kota Eropa sekitar tahun 1920-an.







Eksotis – Hotel Preanger merupakan salah satu hotel paling eksotis yang dibangun di Bandung pada masa kolonial. Bangunan ini mengingatkan langgam-langgam Art Decorative yang marak di kota-kota Eropa tahun 1920-an. (Fotografer: Amin Budiarjo)



***

Jika ia pernah merancang bangunan komersial di Surabaya seperti Kolonial Bank (Jalan Jembatan Merah) dan Java Store (Jalan Tunjungan), Schoemaker pernah juga merancang bangunan bernama Jaarbeurs de Bandung yang bergaya modern dan kini dipakai sebagai Markas besar Kodam III Siliwangi. Kompleks Jaarbeurs awalnya direncanakan untuk keperluan pameran hasil industri organisasi pengusaha industri bernama Vereniging Nederland Indische Jaarbeurs de Bandung.

Kompleks Jaarbeurs yang mulai dibangun tahun 1920 ini dikelilingi empat jalan, yakni Jalan Banda, Jalan Menado, Jalan Blitar, dan Jalan Sunda. Meskipun beberapa telah mengalami perubahan, namun unit bangunan utama paling depan dekat gapura masih utuh, kecuali elemen dekoratif klasik tiga buah patung yang ditutup badannya di bagian pintu masuk. Desain dan tata letak berbagai ventilasi untuk memasukkan cahaya dan udara alami tertata sangat baik.

Perpaduan langgam Eropa dengan gaya setempat terlihat mantap dalam rancangan bangunan religius seperti Masjid Cipaganti di Jalan Cipaganti dan Gereja Bethel di Jalan Wastukencana. Masjid Cipaganti yang dibangun pada tahun 1933 memperlihatkan unsur seni bangunan Jawa, yaitu berupa penggunaan atap tajug tumpang dua, empat saka guru di tengah ruang shalat dan detail ornamen seperti bunga maupun sulur-suluran. Sedangkan unsur Eropa terlihat pada pemakaian kuda-kuda segi tiga penyangga atap dan secara khusus penataan massa bangunan pada lahan ”tusuk sate” antara Jalan Cipaganti dengan Jalan Sastra. Penataan massa bangunan seperti ini menjadikan bangunan tampak paling menarik jika dilihat dari Jalan Sastra karena terbingkai deretan pepohonan rindang. Penataan seperti itu merupakan cara ”Eropa” yang menjadi sesuatu yang baru pada bangunan masjid di Jawa.








Masjid Cipaganti – Peletakan massa bangunan Masjid Cipaganti dalam posisi ”tusuk sate” merupakan cara ”Eropa”. Bangunan ini memperlihatkan dengan jelas upaya memadukan unsur seni bangunan Jawa dan Eropa. (Fotografer: Yessika Abdasah).




Begitu pula Gereja Bethel yang menghadap Sythof Park Pieter atau sekarang disebut Taman Merdeka. Pada bagian atap, Schoemaker mengambil bentuk atap tajug Jawa, namun bentuk bangunannya mengambil sentral Palladian dengan menara sudut. Langgam Eropa makin jelas jika dilihat pada pintu utama yang mengingatkan bentuk gereja Romanesk meskipun samar-samar mengambil pula inspirasi Gothik.

Arsitek ini juga pernah mendesain bangunan yang biasa dikenal sebagai Penjara Sukamiskin. Bangunan penjara ini masih berdiri dengan kokoh yang dapat kita lihat dari arah perjalanan Cicaheum ke Ujung Berung di sebelah kanan jalan. Sungguh suatu bangunan yang juga tidak kalah menarik di pinggiran Kota Bandung.

***

JIKA kita lanjutkan penelusuran makin ke arah Bandung Utara, kita akan menemui beberapa rumah tinggal yang sangat unik karya Schoemaker. Dua di antaranya adalah Villa Merah, ITB di Jalan Tamansari, dan Villa Isola di Jalan Setiabudi yang kini menjadi gedung rektorat IKIP/UPI Bandung.

Bangunan rumah tinggal pertama Schoemaker terkenal dengan sebutan Villa Merah karena menggunakan bata berwarna merah. Material ini dipaparkan terbuka sehingga warna merah mendominasi hampir seluruh permukaan bangunan kecuali atap yang menjulang dan menjadikan vila itu sangat unik karena tanpa-padanan. Bangunan dua lantai ini juga sangat menonjol dalam upaya memadukan seni bangunan Eropa dengan Indonesia yang beriklim tropis panas dan lembab.








Villa Isola – Vila ini adalah sebuah bangunan modern di pinggiran Kota Bandung yang dianggap sangat berhasil dalam menyatukan bangunan dengan lingkungannya. (Fotografer: Amin Budiarjo)




Adapun Villa Isola disebut-sebut sebagai bangunan megah bergaya Arsitektur Modern yang dianggap sangat berhasil dalam menyatukan bangunan dengan lingkungannya. Bangunan yang awalnya adalah rumah tinggal milik orang Belanda bernama DW Barrety ini berada di pinggiran kota. Penataan lansekap dan bangunan mengikuti sumbu utara-selatan sebagaimana penataan lansekap Kampus ITB dengan taman memanjang menuju arah Gunung Tangkuban Perahu. Penataan ini memperlihatkan kesatuan dengan bentuk geometri bangunan yang meliuk-liuk plastis, dan dengan ornamen garis-garis moulding yang memanfaatkan efek gelap-terang sinar Matahari.

Karena terletak di dataran yang cukup tinggi dan bersumbu utara-selatan, kita bisa menikmati pemandangan ke utara yakni Gunung Tangkuban Perahu dan ke selatan ke arah Kota Bandung. Pemandangan ke berbagai arah ini dapat dinikmati dari berbagai sudut seperti ruang tidur, keluarga, makan, dan terutama teras atau balkon. Bangunan yang dibangun pada tahun 1933 ini dapat menjadi contoh perpaduan serasi antara seni bangunan barat dan timur.

Sebagai catatan akhir, jika menelusuri Jalan Setiabudi menuju Lembang kita akan menemui bangunan untuk pengembangan ilmu dan penelitian tentang bintang dan benda luar angkasa yaitu Laboratorium Bosscha yang sampai kini merupakan satu-satunya di Indonesia. Itulah sederetan bangunan karya Schoemaker yang sangat lekat dengan landmark Kota Bandung. Karya-karya itu, selain selalu memiliki kualitas desain arsitektural yang baik, juga memberi manfaat begitu besar karena terus digunakan meski sebagian di antaranya telah berubah fungsi. Dan, yang tak kalah penting, hampir semua artefak bangunan itu masih bisa disaksikan hingga kini.

****

Published @Kompas 2 Agustus 2002

About me

  • I'm b s b
  • From Bandung, West Java, Indonesia
  • History, art, and city lover. Mengajar di Sekolah Arsitektur, Perencanaan, dan Pengembangan Kebijakan (SAPPK) ITB. Pendiri dan Direktur Eksekutif HCF (Humane City Foundation)
My profile
Name :
Web URL :
Message :
:) :( :D :p :(( :)) :x
Powered by Blogger
and Blogger Templates