Saturday, January 07, 2006 

MEMBANGUN KOTA HEMAT ENERGI - Bagian kedua

Oleh Bambang Setia Budi

Selain
melakukan perencanaan dan pengelolaan secara serius terkait transportasi publik/masal (di bagian pertama sebelumnya), pada bagian ini akan dipaparkan kembali langkah strategis lainnya yang perlu diambil yang berkaitan dengan perencanaan transportasi dan manajemen lalu lintas untuk penghematan energi di kota.

2. Penyediaan jalur sepeda dan pejalan kaki (pedestrian) yang aman dan nyaman

Bersepeda dan berjalan kaki adalah salah satu alternatif moda perjalanan yang paling mungkin untuk menghemat energi di kota. Keduanya sudah tentu merupakan moda transportasi yang tidak bermotor (non-
motorized transportation atau NMT) sehingga tidak membutuhkan bahan bakar minyak (BBM) sama sekali, dan oleh karenanya juga tidak menghasilkan polusi bagi udara di kota (ramah lingkungan).

Lebih dari itu, bersepeda maupun berjalan kaki dapat dilakukan oleh siapa saja dari semua golongan baik kaya atau miskin, tua atau muda. Jika makin banyak pengguna sepeda atau pejalan kaki, akan sangat mungkin mengurangi masalah kemacetan di kota yang selama ini seperti sulit terpecahkan. Untuk sepeda, tak salah jika ia juga disebut-sebut termasuk sebagai alat transportasi yang paling berkelanjutan (sustainable transportation).

Untuk membangun kota yang hemat energi, sudah semestinya setiap pemerintah daerah atau kota memberi perhatian khusus pada moda transportasi ini. Yakni dengan membangun jalur sepeda dan pejalan kaki yang aman dan nyaman serta menyediakan berbagai f
asilitas pendukungnya. Namun sungguh disayangkan, di kota-kota besar di Indonesia, justru hampir tidak ada sarana dan fasilitas jalur bersepeda dan berjalan kaki yang aman dan nyaman, apalagi sarana pendukung lainnya seperti parkir sepeda.

Kalaupun di beberapa tempat ada jalur sepeda dan berjalan kaki, seringkali kondisinya sangat memprihatinkan misalnya jalan yang tidak menerus, rusak, berlubang, berebut tempat dengan pohon dan tiang reklame (karena tidak dirancang dengan baik), serta dipenuhi pedagang kaki lima (PKL), dan lain sebagainya. Oleh sebab itu, kondisinya tidak menjamin keselamatan dan ken
yamanan bagi pengguna sepeda maupun pejalan kaki.

Kondisi seperti itu tidak lepas dari kekeliruan pada kebijakan transportasi
dari pemerintah daerah atau kota, di mana selama ini mereka sering mengabaikan eksistensi pengguna sepeda dan pejalan kaki sehingga tidak menyediakan jalurnya sendiri dengan baik. Dan sebaliknya, justru di negeri miskin dan banyak hutang ini, pemerintah daerah atau kotanya sering memanjakan pengguna mobil dengan membangun jalan raya, jalan layang atau jalan tol. Kemacetan bukannya berkurang tetapi malah semakin sulit diatasi, karena jalan-jalan itu justru semakin mengundang banyaknya pengguna mobil dan kendaraan bermotor. Karena banyaknya mobil dan kendaraan motor di jalan, sehingga sering juga timbul kemacetan, akhirnya kota pun menjadi semakin jauh dari hemat energi.

Dalam soal mengatasi kemacetan, kesalahan para pengambil kebijakan transportasi adalah mereka seringkali hanya melihat dari segi ketidakseimbangan angka pertumbuhan mobil atau kendaraan bermotor yang mencapai rata-rata 7-12
% pertahun dibanding dengan ruas jalan yang ada. Sehingga membangun jalan-jalan seperti di atas dianggap dapat mengurangi masalah kemacetan itu. Sementara membangun dan mengelola jalur sepeda bagi pengendara sepeda dan berjalan kaki masih belum dianggap sebagai salah satu jalan alternatif untuk mengurangi kemacetan di kota.

Selain kekeliruan-kekeliruan itu, berkembang pula stigma yang kuat di masyarakat bahwa bersepeda identik dengan kemiskinan sehingga hanya orang miskinlah yang bersepeda. Budaya gengsi pun merebak kuat, karena apa saja sering dilihat dari sudut pandang materi atau harganya. Termasuk menilai seseorang sering pula dilihat dari apa yang dinaiki/dikendarainya. Stigma ini menambah kekeliruan lain, yakni kebijakan diskriminatif, yang dianggap kaya (bermobil) semakin dilayani dan dimanjakan, sementara yang dianggap miskin (bersepeda) semakin terabaikan dan tak terlindungi.
Wajarlah jika akhirnya sangat sedikit jumlah pengguna sepeda di kota-kota besar di Indonesia.

Sebagai gambaran, menurut Darmaningtyas melalui survey INSTRAN di akhir Juni 2005, dalam sehari jumlah sepeda yang melewati Jalan Sudirman Jakarta dari arah Jalan Thamrin hanya 52 unit, sedangkan yang menuju ke arah Jalan Thamrin hanya mencapai 122 unit. Mereka itu adalah para pedagang keliling, seperti siomay, bakso, dan roti. Terlalu minim pelajar dan pekerja kantoran yang bersepeda. (Darmaningtyas, Kompas, 4 Agustus 2005).

Hal ini sangat berbed
a dengan kota-kota di banyak negara maju maupun di beberapa negara berkembang lainnya. Pemerintah kotanya secara serius menyediakan jalur-jalur khusus sepeda dan pejalan kaki, hingga prosentase pengguna sepedanya menempati jumlah yang signifikan dibanding dengan pengguna jalan lainnya.

Kota-kota di Cina seperti Tianjin dan Shenyang menempati prosentase terbesar yakni 77% dan 65% penduduk yang mengendarai sepeda untuk perjalanan mereka. Sepeda memang sangat penting di Cina sehingga di banyak kotanya memiliki jalan sepeda hingga lima atau enam jalur. Sebagai gambaran, dari pemantauan lalu lintas di kota Tianjin, konon lebih dari 50.000 sepeda melintas di satu persimpangan jalan dalam waktu satu jam.

Urutan ketiga terbesar adalah kota Groningen di negeri Belanda dengan jumlah prosentase 50% penduduk yang mengendarai sepeda untuk perjalanan keseharian mereka. Kemudian berturut-turut Beijing di China (49%), Dhaka di Bangladesh (40%), Erlangen di Jerman (26%), Odense di Denmark (25%), Moscow di Rusia (24%), New Delhi di India (22%), Copenhagen di Denmark dan Basel di Switzerland (20%), Strasb
oug di Perancis (15%), dan lain-lain.

Sekadar catatan, jumlah pengguna sepeda di Erlangen, Jerman tersebut meningkat tajam setelah jalur sepeda sepanjang 160 km selesai dibangun. Tak ketinggalan, menurut data itu, kota yang dikenal terpadat dan termahal di dunia, Tokyo di Jepang, pengguna sepedanya juga tercatat mencapai prosentase 25%, sama dengan kota Odense di Denmark. (WALCYNG, Report 1. no.4, 1997).











Parkir Sepeda di Kota Groningen – Sebuah parkir sepeda di depan stasiun kereta api kota Groningen, Belanda. Sebanyak 50% dari seluruh penduduk kota ini menggunakan sepeda untuk perjalanan keseharian mereka. (Foto: Bambang Setia Budi)




Namun yang paling fenomenal dan menarik untuk dicermati adalah upaya yang dilakukan pemerintah Kota Bogota, ibukota Colombia di Amerika Tengah. Untuk menghemat energi dan mengurangi polusi udara kota, Enrique Penalosa – walikota Bogota tahun 1998-2001 – membangun jalur sepeda sepanjang 350 km. Ini merupakan kota yang memiliki jalur sepeda terpanjang di Amerika Latin maupun di kota-kota negara berkembang lainnya.

Jalur-jalur sepeda dan pedestrian itu dibuat sangat kompak, menerus, dan terintegrasi serta aks
es yang sangat luas hingga menembus berbagai kawasan pemukiman. Selain itu, pemerintah kota pun memanjakan para pengguna sepeda dan pejalan kaki dengan berbagai regulasi keistimewaan (privilege). Untuk mendukung ini, tak segan-segan walikota sendiri dan pejabat pemerintahnya memiliki jadwal tertentu untuk bersepeda saat pergi ke kantor. Oleh karenanya dalam waktu lima tahun, jumlah pengendara sepeda meningkat drastis, yakni dari 8% pada tahun 1998 menjadi 16% pada 2003. Bahkan hingga tahun 2005 ini, ditargetkan sekitar 30% penduduk Bogota akan menjadikan sepeda sebagai salah satu moda transportasinya. Semua itu tidak lepas dari perhatian pemerintah kotanya yang menyediakan fasilitas jalur sepeda yang aman dan nyaman tersebut.

Kalau dalam skala negara, di antara negara-negara maju di Eropa, Amerika, dan Kanada, negeri Belanda-lah yang menempati urutan teratas dalam jumlah prosentase pengguna sepedanya. Di negeri ini, prosentase rata-rata pengguna sepeda mencapai 30% dan pejalan kaki 18% dari total moda perjalanan yang ada. (Lihat tabel John Pucher, Transportation Quarterly, 1998-2001). Negeri i
ni memiliki jumlah penduduk 16 juta orang, namun menurut statistik jumlah sepeda di Belanda ada 18 juta. Jadi lebih banyak jumlah sepeda dibanding dengan populasi penduduknya.














Tabel 1-Tabel perbandingan prosentase moda perjalanan untuk semua tujuan di antara negara-negara maju di Eropa, Amerika dan Kanada. (sumber: John Pucher, Transportation Quarterly, 1998-2001).


Pada tabel itu, negara Amerika menempati urutan terendah dalam penggunaan sepeda. Maka dapat dimengerti jika negeri paman sam ini juga terkenal paling boros dalam penggunaan energi, khususnya BBM. Dapat diduga, tampaknya ada korelasi antara kebutuhan minyak mereka dengan jumlah pengguna sepeda dan pejalan kaki dibanding dengan pengguna mobil di negara itu. Dari tabel John Pucher tersebut, diperlihatkan bahwa prosentase jumlah pengguna sepeda hanya 1% dan pejalan kaki hanya 9% dari total moda perjalanan lainnya. Sementara prosentase terbesarnya adalah pengguna mobil yang mencapai 84%.

Meski demikian, negara Amerika juga melakukan usaha penghematan energi ini dengan di antaranya memperbesar proyek pembuatan jalur sepeda dan pejalan kaki. Tercatat, sejak tahun 1998 hingga awal 2003, negeri ini telah mengucurkan dana sebesar 3 milyar dollar AS khusus untuk proyek pembuatan jalur sepeda dan pejalan kaki melalui Transportation Equity Act untuk abad 21. (Janet Larsen, Earth Policy Institute, 2002).

Demikianlah upaya kota-kota dan negara-negara itu dalam membangun jalur sepeda dan pejalan kaki. Kalau sudah jelas alasan dan argumentasi pentingnya bersepeda dan berjalan kaki bagi penghematan energi di kota dan bahkan negara, apalagi yang ditunggu-tunggu. Membangun infrastrukturnya pun mudah dan murah. Ini hanya membutuhkan kesadaran dan political will dari pemerintah, untuk segera merumuskan langkah nyata dan kebijakan yang memihak kepada pengguna sepeda dan pejalan kaki tersebut. Ini agar prosentase pengguna sepeda dan pejalan kaki meningkat, sehingga makin menghemat energi dan mengurangi polusi udara di kota.

Memang prakteknya tidak semudah menggagasnya. Untuk mensukseskan kebijakannya dan sekaligus sebagai rangkuman bagian ini, paling tidak dapat dilakukan beberapa hal, pertama, lakukan dengan cara konsep “mengundang” yakni buat jalur khusus sepeda dan pedestrian beserta penyeberangannya yang aman dan nyaman. Kedua, lakukan kampanye dan contoh nyata dari para pejabat, pada hari-hari tertentu mereka juga bersepeda ke kantor seperti di Bogota tersebut.

Ketiga, buat undang-undang perlindungan, khususnya undang-undang keistimewaan (privilege) bagi pengguna sepeda dan pejalan kaki. Sudah semestinya pemihakan lebih diberikan kepada moda transportasi yang hemat energi dan ramah lingkungan seperti ini. Keempat, buat aturan untuk kelancaran, keamanan dan kenyamanannya. Khusus untuk pedagang kaki lima (PKL) yang berpeluang mengambil tempat di jalur sepeda dan pedestrian, perlu pendekatan tersendiri dalam penanganannya. Dan kelima, lakukan ketegasan penegakan aturan, hukum dan Undang-Undang. Wallahu alam bishawwab. (bersambung).

***

Bambang Setia Budi

Peneliti ISTECS bidang Kajian Tata Kota, Staf Departemen Arsitektur ITB dan Kandidat Doktor Arsitektur di Toyohashi University of Technology, Jepang.
E-mail: bambangsb@yahoo.com

published @ www.beritaiptek.com
Rabu, 9 November 2005 22:56:01

About me

  • I'm b s b
  • From Bandung, West Java, Indonesia
  • History, art, and city lover. Mengajar di Sekolah Arsitektur, Perencanaan, dan Pengembangan Kebijakan (SAPPK) ITB. Pendiri dan Direktur Eksekutif HCF (Humane City Foundation)
My profile
Name :
Web URL :
Message :
:) :( :D :p :(( :)) :x
Powered by Blogger
and Blogger Templates