« Home | MEMBANGUN KOTA HEMAT ENERGI - Bagian kedua » | MEMBANGUN KOTA HEMAT ENERGI - Bagian pertama » | MENDESAK "GRAND DESIGN" KOTA BANDUNG » | KRISIS ENERGI DAN PERENCANAAN KOTA KOMPAK » | masih susah ya ngeblog teh ;-) » | Lupa Username » | arigatou » | Blog ini: Hadiah buat Abi » 

Wednesday, February 08, 2006 

MEMBANGUN KOTA HEMAT ENERGI - Bagian ketiga

oleh Bambang Setia Budi


Ini adalah langkah lanjutan dari perencanaan sistem transportasi dan manajemen lalu lintas (transport planning and traffic management) untuk upaya membangun kota hemat energi. Langkah berikut ini sangat perlu dan penting dilakukan sebagai pendukung dan pelengkap kebijakan dua hal sebelumnya yakni pembangunan sarana transportasi masal yang efisien dan representatif serta penyediaan sarana/jalur sepeda dan pejalan kaki yang aman dan nyaman.

3. Pengendalian Transportasi

Kalau kedua hal sebelum ini (pembangunan sarana transportasi masal dan jalur sepeda/pejalan kaki) menyangkut pembangunan sarana dan prasarana fisik, maka pengendalian transportasi adalah lebih kepada kebijakan perangkat lunaknya yang dapat berupa peraturan-peraturan daerah/kota. Sebagian peraturan juga telah disinggung pada bagian kedua sebelumnya khususnya pada pemberlakuan privilege untuk pengguna sepeda/pejalan kaki. Berikut ini lebih diperluas untuk mendukung semuanya.

Muaranya adalah untuk mengurangi kepadatan lalu lintas khususnya kendaraan bermotor dan mobil pribadi di jalan-jalan di kota, dan mengalihkannya ke penggunaan transportasi masal (mass/public transport) serta moda non motorized transportation. Tentu dengan catatan/asumsi kedua hal tersebut infrastrukturnya telah dibenahi dan digarap serius lebih dulu. Karena tanpa didahului keduanya, kebijakan manajemen pengendalian transportasi ini akan mudah gagal atau tidak terlalu berguna atau hanya akan menghambat mobilitas penduduk kota, padahal mobilitas adalah sebuah kemestian di kota. Sebagaimana pemberlakuan kebijakan Kawasan Pembatasan Penumpang (KPP) atau three in one (satu mobil berisi minimal tiga penumpang) pada jalan-jalan tertentu di Jakarta saat ini, sebenarnya tidak banyak memberi pengaruh/dampak yang berarti bagi terbenahinya sistem transportasi di Ibukota.

Upaya pengendalian transportasi atau yang disebut transportation control measures (TCM) telah banyak dilakukan di berbagai negara lain dan ini sangat banyak alternatifnya. Di antaranya dapat dilakukan upaya berikut: Pertama, pembatasan jumlah kendaraan (traffic restraints) di kota melalui jumlah parkir resmi (terdaftar), pelarangan parkir di kota dan menaikkan harga parkir pada kawasan tertentu. Menengok kota-kota di Jepang, setiap mobil bermesin di atas 500cc diwajibkan memiliki tempat parkir resmi yang terdaftar. Setelah memiliki tempat parkir resmi (yang dicek secara khusus dari pihak kepolisian), kemudian dipakai sebagai persyaratan mendapatkan shaken atau izin jalan mobil selama dua tahun. Tanpa ini, mobil tidak akan pernah bisa mendapatkan shaken tersebut, artinya mobil juga tidak boleh berjalan di kota atau kemana pun. Dengan demikian, jumlah mobil berukuran tertentu di kota itu dapat terkontrol jumlahnya mendekati atau sesuai dengan jumlah parkir resmi yang tersedia di kota itu.

Terkait parkir juga, di banyak lokasi dan juga di sepanjang jalan utama kota-kota di Jepang, mobil tidak diperbolehkan parkir sembarangan. Setiap mobil harus diparkirkan pada tempat yang tersedia dan harganya tidak murah karena dihitung setiap 15-30 menit atau satu jamnya. Artinya semakin banyak waktu yang digunakan untuk parkir maka harganya dipastikan semakin mahal. Kalau terjadi pelanggaran atau kesalahan parkir, bisa kena denda yang sangat mahal, bahkan untuk tempat tertentu seperti di sekitar/depan eki (stasiun kereta) dendanya lebih mahal lagi (sekali denda bisa mencapai 15 man, atau sekitar 13-14 juta rupiah). Dengan aturan parkir di kota semacam itu, dengan sendirinya mendorong warga untuk mengambil pilihan yang lebih praktis, beresiko kecil, lebih murah, dan yang sesuai untuk diri dan keperluannya, misalnya memilih menggunakan moda transportasi masal atau bersepeda untuk jarak tertentu.

Kedua, pemberlakuan sistem daerah lisensi (area licensing system), atau sistem insentif ekonomi dengan pemberlakuan tarif pada jalan dan waktu tertentu (road pricing). Untuk di Jepang, sepanjang pengalaman penulis menggunakan kendaraan mobil di Jepang belum pernah menemukan area atau jalan yang memberlakukan sistem ini. Hanya jalan tol saja yang diwajibkan membayar. Namun di beberapa negara maju yang lain, hal ini diberlakukan, misalnya seperti di Orchad Road di Singapura. Di pagi hari setiap kendaraan yang akan lewat diharuskan membayar sejumlah uang tertentu terlebih dahulu.

Sebagai catatan, penulis menyarankan pilihan road pricing ini sebaiknya adalah alternatif terakhir dan diberlakukan hanya pada jalan atau jalur yang sangat khusus, lagi pula waktu tertentu saja misalnya jam sibuk, mengingat fungsi jalan itu sendiri adalah untuk melayani publik. Dengan demikian masyarakat tidak dirugikan. Penulis menekankan hal ini karena agar jangan sampai pemerintah kita langsung mengambil pilihan ini karena dianggap paling mudah, tanpa berfikir lebih jauh dan menyeluruh untuk menyelesaikan berbagai masalah transportasi kota, serta ingin memperoleh dana dari masyarakat dengan dalih ingin mengurangi kemacetan.

Ketiga, sistem genap-ganjil dari nomor akhir plat kendaraan. Artinya, mobil-mobil pribadi diatur hak jalannya di dalam kota berdasar pada nomor akhir plat kendaraannya. Mengambil pengalaman di banyak kota di Italia seperti Roma, Napoli, Milano, Turino, dan lain-lain, pada akhir tahun 1991 telah memberlakukan larangan mengendarai mobil kecuali pada hari yang ditentukan. Peraturan itu menyebutkan nomor ganjil berjalan di satu hari dan nomor genap di hari berikutnya, dan seterusnya.

Awalnya banyak pengemudi yang sangat jengkel karena dianggap membatasi dan mengekang mobilitas mereka. Konon dalam suatu hari, polisi mencatat tak kurang dari 12.983 pelanggaran karena mengabaikan atau mengubah-ubah plat nomor mereka sesuai hari boleh jalan. Namun dengan aturan ini, selain berhasil membatasi jumlah kendaraan di jalan-jalan, menghemat energi, adalah terutama dapat mengurangi polusi udara di kota. Konon Kementrian Lingkungan Hidup Italia melaporkan adanya pengurangan polusi sebesar 20% hingga 30% dari sebelumnya pada kota-kota yang memberlakukannya.

Di Bogota, ibukota Columbia, pada hari-hari tertentu juga digunakan kebijakan pemakaian mobil yang diizinkan masuk dan berlalu lalang di jalanan kota berdasarkan nomor plat ini. Selama dua hari dalam sepekan kendaraan pribadi dilarang beroperasi. Mereka mengaturnya dengan cara kendaraan berplat nomor berakhiran 1 hingga 4 dilarang untuk digunakan pada hari Senin; 5 hingga 8 pada hari Selasa; 9, 0, 1 dan 2 pada hari Rabu; 3, 4, 5 dan 6 pada hari Kamis; serta 7, 8, 9 dan 0 pada hari Jumat; dan seterusnya. Dampak yang terjadi kemacetan bisa terhindari, mengurangi polusi, dan energi bisa lebih dihemat. Ini semua dapat berjalan, tentu karena adanya alternatif moda mobilitas yang lain seperti transportasi masal yang baik dan representatif.

Keempat, pemberlakuan pajak mobil secara progresif yakni makin punya banyak mobil makin mahal pajaknya. Misalnya dalam satu keluarga, kepemilikan mobil kedua, ketiga, keempat dan seterusnya pajaknya harus dibuat semakin mahal. Selain itu juga umur mobil, makin tua makin mahal. Ini untuk menebus polusi yang diakibatkan karena bertambah banyak jumlah dan usia dari mobil-mobil yang dimilikinya itu.

Kelima, pemberlakuan zona bebas mobil/kendaraan (car free zone). Kalau yang pertama hingga keempat hanya "mengurangi" volume lalu lintas, yang kelima ini secara total memberlakukan pelarangan mobil masuk ke area tertentu yang ditentukan sebagai zona bebas mobil/kendaraan. Mengambil contoh di Buenos Aires ibukota Argentina, pada tahun 1977 melarang kendaraan pribadi memasuki jalan-jalan pusat keramaian kota saat hari kerja dari pukul 10 pagi hingga 7 malam. Sementara bus dan taksi diperbolehkan hanya pada beberapa jalan tertentu. Meskipun pada awalnya barikade polisi digunakan untuk menegakkan larangan ini, namun kebijakan itu ternyata cukup berhasil mengatasi kepadatan lalu lintas dan pencemaran udara yang disebabkan oleh satu juta orang yang memadati pusat kota tersebut. Saat ini pelarangan cukup dengan rambu-rambu kecil yang menjelaskan kebijakan tersebut.

Larangan masuk bagi mobil pribadi secara sebagian atau total juga diberlakukan di sebagian besar kota besar Italia seperti di Roma, Florensia, Napoli, Bologna, dan Genoa hingga di kota-kota kecil. Dari pukul 7.30 pagi sampai 7.30 malam, hanya bus, taksi, kendaraan pengirim barang, dan mobil-mobil pribadi pemilik rumah di daerah itu yang boleh memasuki daerah pusat Roma dan Florensia. Larangan serupa juga diberlakukan di kota Amsterdam di Belanda, Athena ibu kota Yunani, Barcelona di Spanyol, Budapest di Hungaria, Munich di Jerman, dan di banyak kota di negara-negara Eropa lainnya. Intinya, selain menghemat, pemberlakuan aturan zona bebas kendaraan ini sebagai suatu cara untuk mengurangi pencemaran udara, menggalakkan pariwisata, dan meningkatkan kualitas kehidupan.

Keenam, pemberlakuan hari tanpa berkendaraan (car free day). Ada hari-hari tertentu yang ditetapkan di mana kendaraan bermotor dan mobil tidak dikendarai di kota. Di Bogota, gerakan car free day langsung dipelopori oleh pemerintah kota dan semula hanya beberapa hari dalam satu tahun. Pada awalnya memang terjadi penentangan, namun dengan ketegasan penegakkan aturan, lama kemudian masyarakat pun menjadi biasa. Bahkan dalam sebuah voting yang diselenggarakan pemerintah kota, warga kota menginginkan acara tersebut dilaksanakan setiap tahun, dan saat ini dijalankan setiap hari minggu. Sebagai gantinya pemerintah kota menggalakkan hari bersepeda dan penggunaan transportasi umum masal BRT (Bus Rapid Transit) TransMilenio. Tak heran pelaksanaan program car free day ini disebut-sebut sebagai yang terbesar di dunia.

Ketujuh, uji coba berbagi/bermobil patungan (car sharing). Ini sebuah kebijakan untuk mengurangi ketergantungan mobil namun dengan tetap memberi kebebasan bermobil di kota. Pengguna cukup membayar berapa kilometer yang dipakainya. Konon disebutkan jika kita mengendarai tidak lebih dari 12.000 km/tahun (7500 miles), maka akan menghemat ribuan dolar pertahun dibanding dengan memakai mobil pribadi, tanpa mengurangi mobilitas dan dapat mengurangi polusi udara kota. Karena dalam sistem ini, pengguna mobil tidak perlu memikirkan biaya perbaikan, asuransi, parkir dan lain-lain.

Car sharing ini sejarahnya bermula pada tahun 1987 di Swiss, kemudian di tahun 1988 di Jerman, dan sejak 1993 berkembang pesat di Amerika Utara melalui Quebec City. Menurut Susan Shaheen dari Universitas Califonia, Berkeley, jaringan car sharing di Amerika pada tahun 2004 telah memiliki 61.651 anggota dengan 939 mobil, dan di Kanada sebanyak 10.759 anggota dengan 528 mobil. Namun pilihan berbagi mobil ini sepintas seperti paling jauh dan paling tidak memungkinkan di negeri kita, mengingat mobil di negeri kita masih tergolong sebagai barang mewah, juga adanya perbedaan "budaya" bermobil, dan berbagai faktor lainnya.

Berbagai pilihan kebijakan pengendalian transportasi yang diterapkan pada banyak kota di berbagai negara di atas hanyalah contoh-contoh yang telah dilakukan oleh pemerintah kota bersangkutan. Pemerintah kota khususnya kota-kota besar di Indonesia sudah semestinya terus memikirkan berbagai alternatif kebijakan pengendalian transportasi yang paling tepat untuk diterapkan pada kotanya. Boleh jadi, terobosan-terobosan baru yang berupa gagasan dan keputusan radikal bisa saja dilakukan, dengan tetap menyesuaikan kondisi kota dan masyarakatnya. Untuk kota Jakarta, sebenarnya sudah memiliki Dewan Transportasi Kota (DTK) yang dilantik sejak 11 Januari 2004, namun kinerjanya sampai saat ini masih sering dipertanyakan.

Cara belajar yang paling cepat adalah mempelajari bagaimana kota-kota lain di dunia menerapkan berbagai kebijakan pengendalian transportasi tadi, termasuk kelebihan dan kekurangannya. Seperti di Jepang, tampaknya pengendalian melalui sistem parkir sangat efektif dan berperan besar dalam upaya pengendalian transportasi di negara ini.

Penerapan dari berbagai alternatif tersebut di Indonesia, mestilah didahului dengan kajian mendalam, melalui sebuah riset dengan data yang akurat. Selain itu penting sekali mempersiapkan segala perangkat yang diperlukan dan mensosialisasikan programnya dengan baik ke masyarakat luas sehingga memperkecil peluang kegagalan atau tidak hanya sekadar menjadi coba-coba. Wallahu alam bishawwab.

***

Bambang Setia Budi, Peneliti pada Institute for Science and Technology Studies (ISTECS) bidang Kajian Tata Kota, Staf Departemen Arsitektur ITB dan Kandidat Doktor di Toyohashi University of Technology, Jepang. E-mail: bambangsb@yahoo.com

published @ beritaiptek.com
Senin, 9 Januari 2006 15:46:34

About me

  • I'm b s b
  • From Bandung, West Java, Indonesia
  • History, art, and city lover. Mengajar di Sekolah Arsitektur, Perencanaan, dan Pengembangan Kebijakan (SAPPK) ITB. Pendiri dan Direktur Eksekutif HCF (Humane City Foundation)
My profile
Name :
Web URL :
Message :
:) :( :D :p :(( :)) :x
Powered by Blogger
and Blogger Templates